mari berdamai, saudara.
di kafe mewah pilihanmu
kita bersila panggung
dan bicara hal gencatan
apa mahumu – latte,
espresso atau kopi o?
maaf, saudara. americano.
aku cukup saja teh hitam.
simpan glock 43 secermatnya
seperti kusembunyi pisau stiletto
di sebalik sut kevlar bikinan itali
meski mata kita tekun menterjemah
seribu cara untuk saling berbunuh
saudara, sebentar –
minuman baru tiba
haruskah kita berpelukan
atau mengucup belakang tangan
ketika kita masih lagi begini :
bercerita tentang musuh yang tak pernah ada.
“si vis pacem, parabellum,” kata saudara
lagak semacam ahli politik di lobi hotel
merencana perikatan negara.
“amicus meus, inimicus inimici mei,” balasku
meminjam kata-kata dari buku kubaca semalam
entah betul atau tidak sebutannya.
saudara ingin sebuah perang terakhir
tapi tengkorak siapa pula mesti dilubangi
dan gelanggang mana bakal bergelimpangan arwah
sedang tak ada yang menjadi bidak catur
selain diri sendiri?
tiga jam di sini. pelanggan berganti.
kita cuma menggerakkan sudu
sesekali menyentuh telinga cawan
belum ada yang melihat dasar.
pelayan kafe datang dengan dulang
barangkali mengutus parfait.
dulang terhempas. sepasang kimber
diacu ke kepala kita, dan – –
A’riff Mustaffa Hamzah